Rabu, 25 Juli 2012

80 PERSEN BELAJAR ADALAH NONFORMAL



KALAU sebuah studi menemukan bahwa tempat belajar utama telah berubah, siapkah Anda berubah? Dulu 80 persen pusat belajar adalah lembaga, sekolah, kampus, kursus. Sekarang 80 persen pusat belajar itu justru ada di masyarakat, tempat kita menghabiskan waktu terbanyak. Saya tertegun saat didatangi remaja asal Papua yang jauh-jauh datang dan puncak pegunungan dan gagal berkompetisi untuk memasuki perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa. Misalnya, para remaja dan Pulau Buru yang menumpang hidup di rumah seorang kerabat di daerah Bogor atau para remaja dan Pulau Simeleu di Aceh yang jauh dan terpencil dan masih terbengong bengong melihat pijaran lampu yang menyala tiada henti di Jakarta.


Semua berharap bisa kuliah dan memperbaiki kehidupannya. Ternyata, bisa sekolah tinggi itu bukan cuma perlu kegigihan. Pintunya tak dibukakan seperti kita mengetuk pintu. Di sana ada kompetisi dan mungkin juga ketidakadilan bagi mereka yang datang dan daerah pedalaman dengan semangat merah-putih. Sudah tidak bisa mencicipi subsidi BBM dan listrik, bertarung mendapatkan bangku sekolah milik pemerintah pun tidak bisa, Universitas negeri tentu punya jawaban, “Kami sudah buka pintu lewat jalur undangan”. Kalau masih ada rasa ketidakadilan, ini tentu menunjukkan ada gap antara kampus dan rakyat yang memimpikan pendidikan dan ini harus terus dijembatani. Tetapi, baiklah kita kembali ke topik semula, yaitu bagaimana melatih para remaja yang gagal memasuki jalur pendidikan formal, tetapi tetap bergengsi dan tidak mempermalukan atau menjatuhkan self esteem. Jauh-jauh datang dan pegunungan, dilepas sanak keluarga, mengapa kembali tanpa hasil?


Dengan kata lain, harus ada kompensasi dan jerih payah. Dan, pintu seperti ini baiknya harus dibuka lebar-lebar. Say angnya, dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang baru disahkan di parlemen, jembatan itu tidak ada. Logika yang berk embang hanya mencari payung hukum sebagai pengganti BLU. Jadi, undang-undang baru tersebut belum visioner.

Dunia Informal  
Dunia informal pada dasarnya sangat kaya dengan pengetahuan dan keterampilan. Tetapi, dunia informal tidak membeni gengsi dan pengetahuan sebelum Anda berhasil. Beda benar bila Anda kuliah di fakultas kedokteran universitas negeri. Biarpun tidak lulus atau jadi dokter biasa-biasa saja, sejak kuliah Anda bisa pamer jaket, kirim foto dengan identitas kampus. Dunia informal sebaliknya. Sabtu kemarin saat mewawancarai calon-calon mahasiswa peserta program doktor di UI, saya pun menggali potensi mereka. Sayang sekali, saya harus katakan bahwa mereka masih berpikir ilmu pengetahuan hanya ada di kampus. Ketika saya tanyakan buku apa yang terakhir mereka baca, hampir semua sulit menyebutkan. Padahal, ijazah S-1 dan S-2 mereka bagus-bagus dengan indeks prestasi yang tinggi-tinggi. Tetapi, mereka tera khir membaca buku saat kuliah di jalur formal.

Come on! TahukahAnda bahwa ilmu yang kita pelajani di kampus cepat tertinggal? Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan adu kejar antara dosen dan para penjelajah pengetahuan terus terjadi. Sebagian besar ilmu itu ada di dunia maya dan sebagian lagi ada di tangan orang-orang hebat. Saya pikir, inilah saatnya bagi para social entrepreneur membangun komunitas-komunitas pembelajaran yang bergengsi tinggi dan memberi impak besar. Brandn ya harus kuat agar para remaja  tidak patah semangat, namun ilmunya harus lebih kuat lagi.

Kalau di India saja Bunker Roy bisa membuat onang-orang buta huruf menjadi guru-guru yang hebat di bawah naungan Barefoot College (akademi tanpa alas kaki), mengapa kita tidak bisa? Di Desa Pare, Kediri, anak muda bisa membuat Kampung Inggris yang menjadi alternatif EF atau LIA. Di Jember ada komunitas Jember Festival yang dikembangk an Dinar Fariz, seorang Ashoka Fellow, dan masih banyak lagi. Kalau dulu orang merasa bangga bisa bergabung dengan Guruh Soekarno. Putra di Swara Mahandika atau dengan Rendra di Bengkel Teater-nya, sekarang orang-orang hebat juga hanus turun meminjamkan strong brand yang mereka punya untuk menggantikan gelar ijazah dan UI, ITB, ITS, atau UGM kepada para remaja yang kehilangan pijakan. Latihlah anak-anak muda agar mereka bisa menjadi sama hebatnya dengan Anda.

Hanya, tingkat keberhasilan seseorang di dunia informal sangat ditentukan oleh karakter informalitas yang mengacu pada kekuatan individu. Di dunia informal tidak ada absensi, petugas kebersihan, ruang kelas dengan jam yang tertata, pengajar yang terstruktur, dan seterusnya. Juga tidak ada ijazah. Jadi, semua bergantung pada Anda. Bergantung pada chemistry dengan tokoh, disiplin diri, daya juang, kejujuran, assertiveness, dan tentu saja impian Anda. Anda tinggal menentukan mau jadi pengekor seumur hidup atau menjadi pelopor-pembaru sebaliknya. Di dunia formal Anda wajib belajar segala hal, baik yang relevan maupun kurang relevan buat hidup Anda. Dan tentu saja serba kognitif. Anak-anak muda, datangi tokoh-tokoh idola Anda dan tagihlah komitmen mereka. Kalian bisa sekadar menumpang tidur di sana, tetapi bayarlah dengan kesungguhan dan kerja keras. Jangan berpikir masa depan hanya ada di dunia formal. Saya sendiri sedang berevolusi dan kampus UI ke Rumah Perubahan. Saya yakin ribuan orang siap mengeksplorasi dunia informal untuk kemaslahatan bensama. (*)



*) Guru besar FE Universitas
Indonesia, pakar bisnis dan
strategi
 Sumber :
 Jawa Pos ; Selasa, 24 Juli 2012 Hal. 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar