Rabu, 27 Agustus 2014

RENUNGAN HIDUP





Oleh: Dimyati*



            Awal bulan sawal tahun 1435 H keluarga besar Dinas pendidikan Kabupaten Jember  dikejutkan oleh peristiwa meninggalnya seseorang yang selama ini dikenal sebagai seorang yang pemberani, bahkan banyak yang memandang sebagai sosok yang kontroversial. Dalam berbagai kesempatan,khususnya dalam rapat tidak jarang berani menentang arus mayoritas peserta rapat, ia tidak peduli apakah disitu ada pejabat penting atau tidak, sepanjang menurut pandangannya tidak sesuai dipastikan ia akan bersuara lantang. Bahkan  ketika Bupati Samsul dulupun pernah ia tentang. Postur tubuh yang dempal, usia yang terbilang muda, bentuk wajah yang sangar dan suaranya yang keras sangat mendukung kegarangannya itu. Hampir semua keluarga besar penddikan mengenalnya, itulah Rahmatullah, SPd, M.Pd.
          Karienya didunia pendidikan cukup sukses, dimulai sebagai seorang guru SD, membentuk FKG (Forum Komunikasi Guru), Ketua Cabang PGRI dan ahir puncak jabatannya kepala UPTD Pendidikan. Perjalanan dinasnya ia tempuh tidak mudah, karena ia sering menentang arus, suaranya sering menghiasi media elektronik, khususnya radio. Pendeknya, dalam hal-hal tertentu sulit mencari tandingan orang seperti Rahmatullah.

Minggu, 17 Februari 2013

FACEBOOK PGRI KABUPATEN JEMBER

Dalam meningkatkan rasa profesionalisme guru dan menambah pengetahuan dibidang komunikasi informatika, dan dengan berkembangnya dunia internet dengan  berbagai jejaring situs sosial yang semakin mudahnya menghubungkan kita dengan semua orang maka PGRI Kabupaten Jember juga menyediakan sarana dan prasarana serta info-info terbaru seputar guru dan berbagai kegiatan-kegiatan PGRI Kabupaten Jember diberbagai bidangnya.

Untuk itu PGRI Kabupaten Jember membuat Halaman Facebook "PGRI Kabupaten Jember" demi memudahkan serta memberikan informasi terbaru bagi pembaca.

silahkan kunjungi facebook kami dengan cara:
  1. Login akun facebook anda..
  2. kemudian klik link ini PGRI Kabupaten Jember Jl.Semangka No.7 Patrang.
  3. klik suka/like 

by admin : cahyabagusprianto

Rabu, 25 Juli 2012

80 PERSEN BELAJAR ADALAH NONFORMAL



KALAU sebuah studi menemukan bahwa tempat belajar utama telah berubah, siapkah Anda berubah? Dulu 80 persen pusat belajar adalah lembaga, sekolah, kampus, kursus. Sekarang 80 persen pusat belajar itu justru ada di masyarakat, tempat kita menghabiskan waktu terbanyak. Saya tertegun saat didatangi remaja asal Papua yang jauh-jauh datang dan puncak pegunungan dan gagal berkompetisi untuk memasuki perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa. Misalnya, para remaja dan Pulau Buru yang menumpang hidup di rumah seorang kerabat di daerah Bogor atau para remaja dan Pulau Simeleu di Aceh yang jauh dan terpencil dan masih terbengong bengong melihat pijaran lampu yang menyala tiada henti di Jakarta.


Semua berharap bisa kuliah dan memperbaiki kehidupannya. Ternyata, bisa sekolah tinggi itu bukan cuma perlu kegigihan. Pintunya tak dibukakan seperti kita mengetuk pintu. Di sana ada kompetisi dan mungkin juga ketidakadilan bagi mereka yang datang dan daerah pedalaman dengan semangat merah-putih. Sudah tidak bisa mencicipi subsidi BBM dan listrik, bertarung mendapatkan bangku sekolah milik pemerintah pun tidak bisa, Universitas negeri tentu punya jawaban, “Kami sudah buka pintu lewat jalur undangan”. Kalau masih ada rasa ketidakadilan, ini tentu menunjukkan ada gap antara kampus dan rakyat yang memimpikan pendidikan dan ini harus terus dijembatani. Tetapi, baiklah kita kembali ke topik semula, yaitu bagaimana melatih para remaja yang gagal memasuki jalur pendidikan formal, tetapi tetap bergengsi dan tidak mempermalukan atau menjatuhkan self esteem. Jauh-jauh datang dan pegunungan, dilepas sanak keluarga, mengapa kembali tanpa hasil?

Selasa, 24 Juli 2012

BUDAYA MENGHUKUM YANG SALAH


Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.

Kamis, 01 Juli 2010

STRATEGI BERMAIN DENGAN ALAM DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Priwahyu Hartanti
Guru Matematika SMK Negeri 1 Jember
Mhs. Program Pend. Matematika PPS Univ.Negeri Malang
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan perolehan hasil belajar siswa melalui strategi bermain dengan alam. Subjek penelitian ini adalah 38 siswa kelas X MM SMK Negeri 1 Jember tahun 2007/2008. Langkah-langkah penelitian ini mengacu pada model Kemmis dan Mc.Taggart dimana setiap siklus tindakan meliputi perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Instrumen penelitian terdiri dari lembar pengamatan pelaksanaan pembelajaran dan pengamatan terhadap partisipasi siswa dalam pembelajaran. Hasil penelitian digambarkan dengan menganalisis data kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian ini terlaksana dalam 2 siklus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada konsep Geometri dimensi tiga dengan menerapkan strategi bermain dengan alam dapat meningkatkan perolehan hasil belajar siswa, yaitu sebanyak 78,79 % siswa tuntas belajar. Selain aspek kognitif siswa meningkat, soft skills siswa juga meningkat yaitu dengan berkembangnya aspek afektif dan psikomotor.

PGRI DAN POLITIK


Oleh: Dimyati*

            Manuver PGRI menyangkut pilkada: dialog dengan calon Bupati di Unmuh Jember dan pernyataannya tentang kreteria calon Bupati yang ideal, tak ayal menimbulkan kontroversi, baik dari kalangan luar maupun anggota PGRI. Sebagian melihat, bahwa PGRI sudah merambah kedua politik dan berlaku tidak netral. Organisasi ini mulai bermain api, yang justru bisa membakar organisasi. Hal ini akan membawa kost sangat besar, karena langkah ini tidak saja akan membahayakan eksistensi organisasi, tetapi juga menjadi preseden buruk, yang mau tidak mau menorehkan sejarah kelam, khususnya untuk Jember. Politik dilihat sebagai suatu hal yang mengarah kepada persolan–persoalan kekuasaan belaka, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan pendidikan, apalagi PGRI.

Kamis, 24 Juni 2010

MENGGAGAS PGRI BARU

Oleh:
Dimyati *)

Pada tanggal 29 dan 30 mei 2010 PGRI Jember mengadakan perhalatan terbesar, yakni Konferensi Kabupaten (baca Konkab), yang hal ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Propinsi (baca konprop) yang diselenggarakan pada tanggal 11 sampai 13 Oktober 2009 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Forum tertinggi ditingkat Kabupaten ini merupakan momentum yang strategis bagi organisasi guru, mengingat setidaknya jika dilihat dari tiga hal. Pertama, merupakan media refleksi tentang seberapa jauh organisasi ini mampu berfungsi untuk kepentingan bangsa, pendidikan dan khususnya guru, baik untuk tingkat perjuangan lahirnya regulasi yang bersentuhan dengan guru, mampu bermitra dan sekaligus mewarnai kebijakan pemerintah maupun pada tataran aplikasi yang mengarah kepada peningkatan kualitas pendidikan dan khususnya profesionalisme guru.