Kamis, 24 Juni 2010

MENGGAGAS PGRI BARU

Oleh:
Dimyati *)

Pada tanggal 29 dan 30 mei 2010 PGRI Jember mengadakan perhalatan terbesar, yakni Konferensi Kabupaten (baca Konkab), yang hal ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Propinsi (baca konprop) yang diselenggarakan pada tanggal 11 sampai 13 Oktober 2009 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Forum tertinggi ditingkat Kabupaten ini merupakan momentum yang strategis bagi organisasi guru, mengingat setidaknya jika dilihat dari tiga hal. Pertama, merupakan media refleksi tentang seberapa jauh organisasi ini mampu berfungsi untuk kepentingan bangsa, pendidikan dan khususnya guru, baik untuk tingkat perjuangan lahirnya regulasi yang bersentuhan dengan guru, mampu bermitra dan sekaligus mewarnai kebijakan pemerintah maupun pada tataran aplikasi yang mengarah kepada peningkatan kualitas pendidikan dan khususnya profesionalisme guru.
PGRI mestinya bukanlah organisasi yang sekedar kumpul-kumpulnya para guru, yang kegiatannya hanya menyentuh pada tataran ceremonial semacam peringatan hari guru, pringatan HUT RI dan halal bihalal. Bisa jadi termasuk penyelenggaraan konggres, konperensi propinsi, konperensi kabupaten, konperensi cabang sampai ditingkat ranting merupakan kegiatan rutinitas, jika penyelenggaran agenda-agenda tsb tidak mampu menyentuh arti sesungguhnya tentang fungsi strategis forum itu. Jika hal itu terjadi sesungguhnya sangat ironis, sebab forum-forum itu membutuhkan waktu tenaga dan dana yang tidak sedikit, yang apa lagi semua membutuhkan partisispasi semua guru.
Jika dicermati, sebagai refleksi PGRI Jember sesungguhnya perlu dipertanyakan tentang sepak terjangnya yang yang tidak berimbang dan kurang maksimal dalam upaya melaksanakan jati diri PGRI, yakni sebagai organisasi perjuangan, profesi dan ketenaga kerjaan. Kenyataan menunjukkan bobot PGRI sebagai organisasi ketenagakerjaan ditingkat nasional bisa dibilang cukup sukses, kususnya perjuangannya dalam mewujudkan regulasi; UU sisdiknas, UU guru dan dosen, perjuangannya tentang APBN yang belum menyentuh angka 20% melalui gugatan ke mahkamah konstitusi dll. Tataran yang sering dipersoalkan adalah pada tataran implementasi ditingkat daerah, dimana masih sering terjadi pemotongan hak guru. Sudah menjadi rahasia umum tentang banyaknya potongan-potongan yang dibebankan pada guru, mulai dari turunnya sk pak, sk tingkat, honor guru sukwan, perekrutan sertifikasi dan lain-lain. Praktek-praktek menyimpang semacam ini sesunguhnya tidak saja menyakiti para guru tetapi juga tidak baik bagi penyelenggaraan pemeritahan.
Sebagai organisasi perjuangan, selayaknya PGRI tidak boleh menutup mata tentang carut marutnya persoalan yang dihadapi oleh bangsa, baik masalah penegakan hukum, yang sering terjadi ketidak adilan dan menyentuh rasa keadilan masyarakat (pencuri kakau dihukum 6 bulan, korupsi trilyunan dihukum 1 tahun, kasus prita, bank century dll), politik yang masih berpihak kepada kekuasaan bukan pada rakyat, ekonomi, korupsi dll. Pada level ini setidaknya PGRI sudah seharusnya berfikir ulang kenapa ini semua terjadi? Bukakankah pimpinan masa sekarang lahir juga produk dari guru? Adakah yang salah dengan didikan para guru? Pertanyaan ini haruslah menjadi perhatian, karena kejujuran, mental menang sendiri, tidak peduli pada orang lain, mental korup, egoistik dll tidak lahir begitu saja, tetapi merupakan proses yang panjang, khususnya dalam masa pendidikan awal yakni TK sampai dengan SMA. Pimpinan kedepan yang akan menentukan nasib bangsa sangat tergantung para guru. Apakah bermentalkan seperti saat ini atau memiliki karakter yang cerdas, mau kerja keras, jujur, ihlas dll. Asumsi ini didasarkan karena saat ini generasi kedepan itu ada pada genggaman para guru. Oleh karenanya guru jangan hanya berfikir, bekerja dan berjuang hanya untuk kepentingannya sendiri.
Jati diri yang terahir adalah sebagai wahana dan sarana untuk mewujudkan profesionalisme. Sudah saatnya PGRI harus memulai menggarap peningkatan profesionalisme guru. Menjadi ironi manakala dengan peningkatan kesejahteraan guru, justru tidak diimbangi oleh profesionalisme. Sudah menjadi kenyataan yang sulit dibantah bahwa kompetensi yang dimiliki guru mengalami degradasi. Padahal empat kopetensi: profesional, kepribadian, sosial dan paedagogik menjadi sesuatu yang sangat penting. Akibatnya: penghargaan, perhatian masyarakat kepada guru makin hari makin menipis. Dulu, guru menjadi kekuatan yang utama dan pertama dimasyarakat. Nah bagaimana jati diri sebagaimana guru-guru dulu dapat diambil kembali, menjadi sangat penting. Dimasyarakat, masih membutuhkan kerja keras, keteladanan, sentuhan dan sekaligus pencerahan. Ini semua jika dilakukan akan berdampak positif kepada harga guru, sehingga dalam menjalankan tugas makin terbuka.
Jika dilihat secara obyektif, disamping keberhasilan pengurus PGRI Jember masa bakti 2005-2010 ada sisi yang menggembirakan dan sekaligus mengkawatirkan. Menggembirakan, setidaknya karena pengurus telah mampu membangun soliditas pengurus dan anggota, yang pada saat ahir pilihan 5 tahun lalu pihak-pihak yang merasa kalah secara emosional pulang dulu dan menyatakan diri untuk bernaung dalam FKG (forum komunikasi guru). Nilai plus juga dilihat dari keberhasilannya memobilisir baik pada tataran pemikiran, keinginan dan dana untuk membangun kantor PGRI yang menghabiskan dana milyaran rupiah.
Mengkawatirkan, karena disamping kurang fokus dalam menegakkan khitoh (jati diri) PGRI, justru kelihatan cenderung bergeser yang bisa mengarah kedunia politik praktis. Sulit dipungkiri, bahwa menjelang pilihan bupati saat ini, semua kandidat punya kepentingan kepada PGRI. Logis, jika semua calon ingin menggunakan PGRI untuk mendukung dan bisa memenangkannya. Apalagi, disamping guru memiliki pengaruh yang besar di masyarakat, juga dulu telah menunjukkan kekuatan dan kecanggihannya sebagai mesin politik golkar.
Dalam tarik menarik kepentingan itu ada fenomena yang menarik diungkap. Ada sebagian bahkan bisa dibilang mayoritas pengurus tertarik bahkan menceburkan diri ke gelanggang politik tersebut, yakni menjadi semacam tim sukses. Lebih memilukan lagi adanya gejala yang Sulit dibantah bahwa penceburan diri dalam kancah ini juga karena kepentingan, khususnya jabatan. Sehingga kelompok ini tega dan tegel tidak hanya menyeret organisasi, tetapi malah seperti menjual PGRI. Kelompok ini tidak berlebihan jika disebut sebagai kaum oportunis, yang selalu berusaha menyenangkan atasan yang memiliki peluang lebih besar dalam memenangkan pilkada.
Betapapun dalam era otoda, kenyataan ini sudah lumrah, tapi kalau tidak direm bahkan diluruskan akan merugikan PGRI dalam jangka panjang. Kalau bentuknya hanya pada moralitas dan etis tentu hal ini sudah seharusnya dilakukan. Tapi kalau mengarah pada politik praktis, tentu soal yang membahayakan organisasi.
Dalam gelanggang politik, PGRI harusnya menjadi kekuatan moral kepada semua calon untuk bisa berfikir, berbuat dan sekaligus tekat yang kuat agar mampu mewujudkan jember yang makin maju dengan. Ini semua muaranya ada pada pelaksanaan pilkada yang beradap dan bermartabat. Sisi lain yang juga seharusnya dilakukan PGRI adalah kemampuannya menjadi tenda besar bagi semua calon dan pendukungnya.
Kedua, forum ini juga berfungsi sebagai ajang demokrasi, kususnya untuk pemilihan pengurus baru. Hiruk pikuk siapa yang ingin jadi pengurus, siapa mendukung siapa dll sudah kasat mata. Dua kandidat yang memiliki kualitas, kapasitas dan pengalaman organisasi yang cukup memadai sudah menampakkan keterus terangannya dalam mencalonkan diri. Kedua orang ini merupakan dua orang terpenting dari kepengurusan masa bakti 2005-2010, yakni I Wayan Wesa Atmaja dan Achmad Yasin.
Sosialisasi, latar belakang dan arah PGRI periode 2010-2015 menjadi barang yang lumrah dijual oleh baik kedua kandidat maupun tim suksesnya. Pertarungan ini akan makin menarik untuk dicermati, menjelang pelaksanaan waktu pemilihan.
Dalam tarik menarik perebutan kepengurusan ini semacam test case, apakah guru yang dikenal santun akan mampu berdemokrasi tanpa harus memunculkan intrik-intrik negatif, sebagaimana yang lumrah terjadi saat ini, sehingga menimbulkan: gesek, gosok dan gasak? Bisakah guru-guru ini bisa berdemokrasi secara arif dan dewasa?
Pertarungan wacana, pemikiran, perenungan, yang salah satunya tentang calon ketua perlu diangkat dan dibudayakan ditengah kehidupan organisasi. Dengan demikian konkab ini akan terdorong dan tergiring kearah yang makin baik. Jangan sampai, konkab ini berjalan liar tanpa itu semua, atau malah sepi tanpa semangat dan tanpa arti? Inilah pentingnya muncul banyak calon, sehingga peserta deberi banyak pilihan.
Setidaknya siapapun yang terpilih nantinya selayaknya memiliki kreteria, pertama muda. Hal ini sangat urgen, mengingat untuk mengarah kepada jati diri PGRI membutuhkan waktu dan tenaga yang luar biasa. Belum lagi kecepatan, ketepatan dan keberanian mengambil resiko merupakan karakteristik dunia sekarang yang mau tidak mau PGRI harus mampu bergerak sebagaimana tuntutan jaman. Pemimpin yang benar adalah pemimpin yang mau berjuang keras untuk mewujudkan cita-citanya, yang betapapun ada resiko bagi dirinya. Bukan pemimpin yang memilih aman, apalagi memanfatkan organisasi sebagai kuda tungangan untuk memperoleh kekuasaan. Karakteristik yang memiliki kemampuan diatas kalau mau jujur, tentulah ada pada kalangan muda. Arah dan kecenderungan ini menajadi trend dunia sekarang, baik ditingkat perusahaan, politisi maupun kepemimpinan dunia.
Kreteria kedua, komitmen untuk mewujudkan profesionalisme. Semua sudah mafhum, bahwa kualitas pendidikan menjadi taruhan bangsa. Kemandirian, kejujuran, keberanian, kearifan, kepedulian, kerja keras dan karakter luhur bangsa ini sudah pada posisi bukan lagi mengkawatirkan, tetapi justru sudah menjadi realitas dimana-mana. Keadaan bangsa kita saat ini tidak segera bangkit, bahkan menjadi bulan-bulan bangsa lain karena hilangnya karakter luhur itu. Banyak pakar yang menyatakan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang menjadi surganya kaum koruptor, bangsa yang selalu terjajah betapapun model penjajahan berbeda dengan jaman dulu, bangsa kuli dan bangsa yang melupakan pejuangnya, tidak mau belajar dari bangsa lain dll. Pendeknya bangsa ini sudah mulai kelihatan hampir tenggelam. Bahkan menurut Adi masardi negeri ini sudah menjelma menjadi negeri bedebah, sebagaimana sajaknya:
NEGERI PARA BEDEBAH> Ada satu negeri yang dihuni para bedebah> Lautnya pernah dibelah tongkat Musa> Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah> Dari langit burung-burung kondor > menjatuhkan bebatuan menyala-nyala> > Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?> Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah> Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah> Atau menjadi kuli di negeri orang > Yang upahnya serapah dan bogem mentah> > Di negeri para bedebah> Orang baik dan bersih dianggap salah> Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan> Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah> Karena hanya penguasa yang boleh marah> Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah> > Maka bila negerimu dikuasai para bedebah> Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah> Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum> Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya > > Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah> Usirlah mereka dengan revolusi> Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi> Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi> Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan.
Tumpuan dari semua problem itu sesungguhnya ada pada dunia pendidikan. Penataan dan regulasi politik, ekonomi, sosial, hukum dan hankam dilakukan tentulah harus dilakukan dengan bobot dan kadar dibawahnya. Satu hal yang tidak bisa dibantah misalnya masalah Hukum yang salah satunya jadi jargon SBY, ternyata keadaanyapun belum mampu berjalan secara maksimal. Bahkan perangkat penegak hukum sendiri semacam kejaksaan, kepolisian dan KPK tidak sedikit yang kena kasus. Esensinya semuanya tergantung pada karakter bangsa disemua lini sudah pudar. Mengembalikan karakter yang luhur itu tidak bisa muncul secara tiba-tiba, tetapi harus dimulai sejak kecil yakni di sekolah. Disinilah urgensinya PGRI bisa sharing, bahu membahu dengan berbagai pihak agar mampu mencetak generasi yang memiliki kemampuhan dan keampuhan. Itu semua hanya mungkin jika pengurusnya (khususnya ketua) memiliki pemahaman, kemauan dan gerakan yang memadai tentang hal-hal tsb yang dalam kata lain disebut dengan profesionalisme. Pemimpin model ini hanya bisa terjadi jika ia visioner.
Kreteria ketiga, peduli. Pemimpin yang benar adalah pemimpin yang peduli. Ia peduli kepada anggotanya, peduli pada nasib pendidikan dan tentu harus peduli kepada bangsanya. Tipe orang seperti ini akan lebih mencintai hal yang lebih menguntungkan bagi bangsa dan orang lain, tidak justru hanya peduli pada diri sendiri, yang dengan tega dan tegel memanfaatkan organisasi sebagai tunggangan untuk mencari kekuasaan. Bahkan jika diangkat sebagai pejabat, justru bukan difungsikan untuk membela guru, tapi kenyataannya justru tidak sedikit yang memanfaatkan guru untuk kepentingannya.
Kreteria keempat, adalah bukan pejabat struktural. Hal ini penting untuk diungkap, karena PGRI Kabupaten adalah mitra pemerintah, yang dalam hal ini dinas pendidikan. Semua mafhum organisasi ini bukanlah organisasi oposan, yang melihat dinas dianggap sebagai sesuatu yang negatif, yang harus selalu diawasi dikritisi dan ada dalam posisi kontra. Begitu juga tidak benar kalau organisasi ini selalu samikna waatokna, nyadong dawuh dan sendiko dawuh. Semua ditakar secara rasional dan proporsional. Manakala baik untuk pendidikan haruslah didukung dengan penuh, tetapi mana kala tidak, termasuk merugikan guru jelas harus dikomunikasikan dengan baik, kalau tidak bisa jelas harus ditolak. Posisi yang demikian tidaklah mungkin ketua/sekretaris ada dalam posisi struktural dibawah kepala dinas. Periode sekarang ini sudah memperlihatkan betapa sikap ini sulit diwujudkan.
Tarik menarik kepengurusan tidak hanya pada possisi ketua (F1) saja, tetapi juga pada posisi wakil ketua (F2) dan sekretris (F3). Hal ini logis,karena di PGRI kepengurusannya kolektif kolegial. Irama dan aroma komposisi pengurus disamping harus satu visi dan misi, tetapi juga haruslah mencerminkan keberagaman kemampuan dan kekuatan pengurusnya. Simbul-simbul yang sering dipertanyakan di tingkat bawah adalah keberanian menyuarakan kebenaran, kejujuran, keadilan dan keperpihakan pada guru. Dalam bahasa agama PGRI haruslah memiliki kekuatan dan keberanian untuk amar makruf nahi mungkar.
Ketiga, forum ini juga berfungsi sebagai wahana untuk program. Segenap tantangan, hambatan, rintangan, halangan dll khususnya dalam dunia pendidikan selayaknya mampu diinventarisir yang sekaligus dicari jalan keluarnya. Program-program kedepan haruslah cerdas dalam melihat semua peluang untuk peningkatan kualitas pendidikan, khususnya guru. Konkap ini harus mampu menyentuh hal yang urgen ini. Sebab program ini menjadi arah dan sekaligus target organisasi ini dalam menjalankan organisasi 5 tahun kedepan.
Dari pemikiran diatas, sangat jelas betapa banyak hal yang harus dilakukan oleh PGRI kedepan. Terpilihnya ketua dan pengurus lain, kemampuan merefleksi diri dan kecerdasan didalam program akan berbanding lurus dengan kualitas peran PGRI kedepan, baik untuk guru, pendidikan dan bangsa. Semoga Konprop kedepan mampu melahirkan yang terbaik bagi semuanya.


*) Mahasiswa S3 Universitas Negeri malang
dan ketua PGRI Cabang Ambulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar