Kamis, 01 Juli 2010

PGRI DAN POLITIK


Oleh: Dimyati*

            Manuver PGRI menyangkut pilkada: dialog dengan calon Bupati di Unmuh Jember dan pernyataannya tentang kreteria calon Bupati yang ideal, tak ayal menimbulkan kontroversi, baik dari kalangan luar maupun anggota PGRI. Sebagian melihat, bahwa PGRI sudah merambah kedua politik dan berlaku tidak netral. Organisasi ini mulai bermain api, yang justru bisa membakar organisasi. Hal ini akan membawa kost sangat besar, karena langkah ini tidak saja akan membahayakan eksistensi organisasi, tetapi juga menjadi preseden buruk, yang mau tidak mau menorehkan sejarah kelam, khususnya untuk Jember. Politik dilihat sebagai suatu hal yang mengarah kepada persolan–persoalan kekuasaan belaka, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan pendidikan, apalagi PGRI.
Sementara yang lain, melihatnya sebagai suatu yang biasa, karena PGRI juga punya kepentingan dengan kualitas Pilkada. Peristiwa pertama dalam suatu daerah ini tidak boleh berlalu tanpa makna, apalagi tidak bisa dikawal lebih awal untuk kepentingan pendidikan kedepan. Bahkan, manuver PGRI ini ada yang melihat masih gamang, kurang greget, ragu-ragu, tak jelas dan bahkan terkesan masih takut. Padahal, hidup ini pasti dihadapkan pada pilihan. Jumlah anggota yang besar 16.000, merupakan asset yang bisa digarap untuk kepentingan pendidikan. Membiarkan anggota untuk terkotak-kotak, apalagi sampai pada pilihan yang salah akan berakibat pada nasip Jember kedepan.Dengan demikian kedua manuver tersebut dilihatnya tidak bisa mendorong secara optimal untuk menggiring dan mendorong terpilihnya Bupati yang peduli pada dunia pendidikan.
Dari kontroversi tersebut memperlihatkan bahwa hubungan fungsional antara PGRI dan politik seringkali tidak dimengerti oleh sebagian masyarakat bahkan sebagian anggota PGRI sendiri. Akibatnya forum dialog yang digelar PGRI tanggal 4 juni di Unmuh dan pernyataan politik PGRI tentang calon Bupati yang ideal, dipandang sebagai sesuatu keganjilan. PGRI dilihatnya sebagai sebuah organisasi yang berkutat dengan pendidikan, sementara politik diartikan sebagai sesuatu yang jauh dari budaya adi luhung, jauh dari moralitas pendidik, bahkan sering politik dianggapnya mengandung tipu muslihat, kelicikan, penghianatan, ambisi buta, pemecah belah, distabilitas, membuat onar dan konotasi – konotasi lain yang buruk .
Kesalahan pemahaman dan pandangan ini bisa dimaklumi, mengingat tiga hal, pertama oleh karena pendidikan politik selama ini tidak banyak diberikan, bahkan bisa dibilang amat sedikit. Kita sudah mafhum diera rezim suharto yang berkuasa selama dalam kurun 32 tahun telah mampu “membungkam” hak – hak politik rakyat, termasuk untuk memperoleh pendidikan politik secara wajar, terbuka dan jujur. Kalaupun ada penuh dengan kepura – puraan, yang menurut Amir Santoso kita semua sudah terjebak pada hal – hal yang bersifat seakan – akan. Seakan – akan mengerti, seakan – akan melakukan pendidikan politik dan lain – lain.
Kedua realitas dunia politik kita dari waktu kewaktu cenderung untuk memperkuat dugaan, bahwa politik merupakan suatu hal yang menjurus kepada pertentangan, permusuhan, kebringasan, kepicikan. Hal ini bisa dilihat tentang perbedaan yang menjurus kepada pertentangan para elit, aksi demo yang banyak diwarnai oleh perusakan dan pembakaran.
Ketiga, masa transisi yang masih belum selesai dari PGRI yang menjadi onderbow dari partai politik golkar menjadi sebuah organisasi yang independen. Suasana bebas ini mau tidak mau membawa dampak yang gamang, penuh hati-hati, bahkan ada sebagian ada yang merasa takut.
Untuk memahami hubungan fungsional antara PGRI dan politik ada baiknya jika dikaji, pertama tentang PGRI. Jika dilihat dari sejak berdirinya sampai saat ini, jati diri PGRI tidaklah berubah, yakni sebagai sebuah organisasi perjuangan, organisasi profesi dan organisasi ketenagakerjaan. Sebagai sebuah organisasi perjuangan, tentulah PGRI mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Dalam kaitan ini yang dipikirkan utama dan pertama adalah bagaimana masyarakat diberbagai lapisan masyarakat baik kota/desa, miskin/kaya dan lain-lain memiliki kecerdasan yang baik dan merata. Dengan demikian pilkada dipandang sebagai momentum strategis untuk bisa terus sharing, bahu membahu dengan Kepala daerah dalam mensukseskan SDM kedepan.Mustahil hal ini akan tercapai jika sosok pimpinan daerah tidak memiliki tekat, I’tikat dan sekaligus wawasan yang memadai tentang pendidikan.
Konsekwensi dari pemikiran tsb jelas, bahwa semua lini yang bersinggungan dengan dunia pendidikan menjadi bagian dari garapan PGRI, termasuk dalam pilkada. PGRI dalam kaitan ini tentulah tidak membiarkan pilkada berjalan secara liar, tanpa arah.
Kedua, arti politik. Seorang ilmuwan politik, David Easton menyatakan bahwa politik adalah upaya untuk meng-alokasikan sejumlah nilai secara otoratitatif bagi sebuah masyarakat. Nilai–nilai itu banyak dikejar–kejar, dicari dan banyak dipertaruhkan oleh masyarakat dan negara. Nilai–nilai ini menurut pakar lain, Karl W. Deutsch adalah kekuasaan, kekayaan, kehormatan, kesehatan, kesejahteraan, kebebasan, keamanan, dan lain–lain. Nilai–nilai ini dialokasikan secara otoritatif, artinya sekali dijadikan kebijakan oleh sebuah negara/daerah, maka hasilnya akan mengikat kepada seluruh warga negara/daerah. Hingga negara memiliki hak untuk memberikan paksaan fisik agar semua warga patuh kepada keputusan itu.
Dari pengertian ini, apakah PGRI Jember yang memiliki jaringan disemua lapisan masyarakat yang memiliki anggota lebih dari 16.000 ini tidak melakukan kegiatan–kegiatan politik? Apakah “langkah–langkah “ politik hanya milik partai–partai politik? Sementara organisasi semacam PGRI sudah pasti akan terkena imbas dari hasil pilkada. Bagaimana upaya PGRI dalam kancah yang bersentuhan dengan politik ini tidak tumpang tindih dengan peran partai politik?dsb
PGRI dalam pilkada haruslah mampu menjadi tenda besar, yang bisa memayungi semua kekuatan cabup dan tentu haruslah mampu benar-benar bersikap netral. Kepentingan PGRI adalah agar mampu mengawal kekuasaan mulai sejak awal sampai masa ahir jabatan untuk bisa selalu konsisten memperjuangkan pendidikan yang menjadi tulang punggung kemajuan suatu daerah.
Betapapun PGRI melakukan sentuhan-sentuhan politik, insya-Allah sampai kapanpun tidak akan melakukan langkah–langkah politik yang menjadi wewenang partai politik. Dalam pandangan PGRI yang diperjuangkan partai politik adalah nilai–nilai yang bertitik berat kepada kekuasaan. Manuver–manuver politik, memperbutkan kursi DPR, MPR, Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Kepala Daerah dan lain–lain adalah menjadi bidang garap partai politik. Sementara organisasi diluar partai sebaiknya melakukan kegiatan–kegiatan politik yang berdimensi moral dan etis. Sebab sekali ia terseret dalam gelanggang politik, maka disamping ia akan sulit untuk bersikap netral dan kritis kepada penguasa, ia akan menanggung kerugian di kemudian hari.
Politik yang dilakukan PGRI haruslah bukan berdimensi kekuasaan, jabatan, tetapi lebih sebagai langkah-langkah yang bisa membuat suasana pilkada sejuk, damai dan tentu juga berkualitas. Akan sangat riskan jika dalam pilkada ini dibiarkan tanpa wacana, arah, program, komitmen dan dialog. Apalagi sekarang sangat memungkinkan terjadinya politik uang, aksi dukung mendukung tanpa reserve dan perlaukan-perlakuan yang membabibuta. Disinilah urgensi yang menjadi garapan PGRI, yang salah satunya menggunakan media menghadirkan cabup. Wallahua’lam.

*Dr. Dimyati, M.Pd.
Litbang PGRI Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar